Laman

Rabu, 04 Agustus 2010

Merajut Persekutuan (Gemeinschaft) dengan Konsep Per-Teman-an

“GMKI bukanlah merupakan gesellschaft, melainkan ia adalah suatu gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya…” bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita yang tergabung dalam persekutuan yang sering diistilahkan dengan “benang biru” yaitu Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Kutipan diatas disampaikan salah satu founding father GMKI, Johannes Leimena pada saat memproklamirkan bahwa sudah saatnya mahasiswa ikut ambil bagian dalam perjuangan pergerakan untuk kebaikan dan kepentingan negara dan bangsa Indonesia, serta memperjuangkan oikumenisme (eucumenical’s mission) dalam injil kehidupan, kematian dan kebaktian Yesus Kristus sebagai Sang Kepala Gerakan.

Berangkat dari terminologi diatas, gemeinschaft dan gesellschaft merupakan pada dasarnya pengertian dari teori sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tonnies, tokoh sosiolog kenamaan yang satu ini membedakan dua tipologi persekutuan (asosiasi) yang ada di masyarakat, yaitu asosiasi Gemeinschaft dan Gesellschaft berdasarkan pada upaya untuk mengungkap motif dan sentimen yang ada di balik hubungan antar manusia atau masyarakat yang membuatnya tetap bersama dan melakukan kerja sama.

Gemeinschaft adalah masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman, memiliki tujuan kesatuan yang esensial, orang bekerja sama untuk kepentingan bersama, kehidupan sosial bercirikan: "hidup bersama yang karib, pribadi dan eksklusif”, mereka mengakui "kebaikan bersama, kejahatan bersama, sahabat bersama, musuh bersama", dalam diri mereka terkandung "we-ness" dan "our-ness", dan dipandang sebagai organisme hidup. Sedangkan, Gesellschaft adalah kumpulan (association) yang menjadi ciri kota besar, yang bercirikan perpecahan (individualisme dan mementingkan diri sendiri), tidak ada kebaikan bersama dan ikatan keluarga, lingkungan cenderung tidak banyak mempunyai arti mekanikal dan artifact (buatan manusia), lebih rasional, lebih memperhitungkan, dan eksistensi bergeser dari kelompok ke individual.

Berbeda halnya kalau kita merujuk dari teori yang dikemukakan oleh Durkheim. Tokoh sosiolog yang satu ini agak berbeda pemahaman dalam melihat sisi solidaritas sosialnya. Untuk itu, ia kemudian mengembangkan konsep tentang solidaritas mekanik dan solidaritas organik yang pada tataran tertentu dapat disamakan atau dibandingkan dengan Gemeinschaft dan Gesellschaft dari Tonnies.

Adapun ciri-ciri dari solidaritas mekanik dan organik adalah sebagai berikut: Solidaritas mekanik merujuk kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama. Disebut mekanik, karena orang yang hidup dalam unit keluarga suku atau kota relatif dapat berdiri sendiri dan juga memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa tergantung pada kelompok lain. Sedangkan, Solidaritas organik menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat yang merupakan ciri dari masyarakat modern, khususnya kota. bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda, seperti dalam organ tubuh, orang lebih banyak saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dalam Division of Labor yang rumit ini, Durkheim melihat adanya kebebasan yang lebih besar untuk semua masyarakat: kemampuan untuk melakukan lebih banyak pilihan dalam kehidupan mereka. Meskipun Durkheim mengakui bahwa kota-kota dapat menciptakan impersonality (sifat tidak mengenal orang lain), alienasi, disagreement dan konflik, ia mengatakan bahwa solidaritas organik lebih baik dari pada solidaritas mekanik. Beban yang kami berikan dalam masyarakat modern lebih ringan daripada masyarakat pedesaan dan memberikan lebih banyak ruang kepada kita untuk bergerak bebas.

Kita harus jujur mengakui. Banyak dari kalangan kita tidak mampu lagi memaknai persekutuan yang dimaksud dalam terminologi diatas. Sudah sangat jelas bahwa GMKI adalah Gemeinschaft yang mengandung prinsip yang berbeda dengan Gesellschaft.

Hal ini jelas keliatan dalam aktivitas tugas pelayanan kita dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Kecurigaan subjektif dapat membiaskan semangat persekutuan dalam membina kasih persaudaraan sehingga berdampak pada susahnya mengoptimalkan kerja-kerja (program) guna pencapaian tantangan medan pelayanan GMKI (Perguruan Tinggi, Gereja dan Masyarakat). Ini merupakan salah satu dari banyak sebab yang dianggap penulis sebagai ketidakmampuan kita dalam mengaplikasikan semangat persekutuan yang sering kita singgung baik dalam forum resmi maupun dalam forum dan diskusi yang sifatnya tidak resmi.

Masih banyak soal-soal yang bisa menjadi koreksi pemahaman kita dalam memaknai persekutuan. Dalam berdebat misalnya, pernahkah kita menempatkan lawan bicara kita sebagai saudara sebagaimana prinsip sebuah persekutuan? Mungkin bagi kita merupakan kebanggaan tersendiri bila membuat lawan bicara kita yang notabenenya saudara sebenang biru merasa tersudut, keliatan bodoh, bereaksi marah karena argumentasi yang bersifat meyinggung hak pribadi (privillage). Atau pernahkah kita menganggap persoalan yang dihadapi kelompok lain di dalam kita merupakan persoalan kita bersama? Pernahkah kita berusaha untuk mendiskreditkan orang atau badan/lembaga yang nyata-nyatanya berada dalam persekutuan kita bersama?

Pertanyaan-pertanyaan diatas bukan merupakan suatu bentuk justifikasi tetapi lebih kepada bagaimana kita sebagai entitas-entitas hidup mengenal persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan kita yang mungkin bermuara pada kontradiksi atau semacam distorsi ide dengan kenyataan.

Bagi orang percaya hubungan dengan Tuhan adalah hal yang terpenting dan terutama. Kita rindu untuk mempunyai hubungan dan persekutuan yang indah dengan Tuhan. Tetapi hal yang tidak boleh diabaikan adalah hubungan di antara sesama kita. Karena suatu hubungan/persekutuan dengan Allah yang baik dan benar, secara otomatis orang tersebut seharusnya mempunyai hubungan yang baik dengan sesamanya, khususnya saudara-saudari seiman.

Adalah bahaya besar kalau dikatakan orang ini rohani, punya persekutuan yang indah dengan Tuhan, tetapi persekutuan dengan saudara seiman bermasalah. Jadi persekutuan antara sesama adalah cermin dari ibadah kita yang benar dan baik dengan saleh. Kalau hubungan vertikal baik, otomatis hubungan horisontal juga baik. Bisa jadi seorang yang mempunyai hubungan horisontal bagus, belum tentu memiliki hubungan vertikal yang bagus pula. Tetapi seorang yang mempunyai hubungan vertikal yang bagus, seharusnya hubungan horisontalnya juga bagus.

Dalam memahami persekutuan yang dimaksud diatas, penulis ingin mengajak kita menyederhanakan persoalan tetapi bukan dalam rangka mengurangi apa yang menjadi esensi yang kita bicarakan.

Persekutuan erat kaitannya dengan pertemanan. Mungkin banyak dari antara kita yang meragukan kesimpulan ini. Tapi itu sah-sah saja. Semua merupakan proses dialektika argumen dalam mencapai pengertian yang lebih mendalam untuk mencapai persamaan pemaknaan. Tapi setidaknya itulah yang dirasakan penulis hingga harus mengangkat tulisan ini untuk bahan evaluasi atau rekomendasi dalam menata hubungan interpersonal kita (persekutuan ala GMKI).

Kejujuran merupakan cikal bakal perubahan, merupakan kalimat sakti yang harus kita renungkan bersama-sama. Mungkin tidaklah sesuatu yang berlebihan bahwa pengingkaran terhadapa prinsip kejujuran merupakan tindakan yang kontra revolusioner (hegemoni pasca kemerdekaan Soekarno). Ketidakjujuran dalam melihat persoalan akan menghasilkan penyelesaian yang tidak menyentuh akar persoalan. Misalnya, ketidakjujuran mengakui kemampuan pengurus organisasi akan tugas-tugasnya berdampak susahnya organisasi mencari solusi persoalan dalam tubuh organisasi.

Banyak dari antara kita masih bergabung dalam organisasi ini dikarenakan hubungan pertemanan. Anggota-anggota dalam sebuah organisasi GMKI merupakan entitas-entitas yang diberi tugas untuk mewujudkan apa yang menjadi visi dan misi organisasi dalam balutan persekutuan. Apa jadinya kalau seorang entitas dalam organisasi merasa sudah tidak punya teman dalam organisasi tersebut? Akankah dia masih tetap memilih untuk aktif berkegiatan? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Sejauh mana motivasi kita dalam bergabung dalam persekutuan ini akan menentukan keputusan yang akan kita ambil bila terlibat dalam pengandaian tersebut.

Tetapi harus kita akui, hampir kebanyakan dari kita yang masih bertahan dalam perserkutuan ini lebih didasari oleh latar belakang pertemanan, baik itu dalam mencari teman biasa maupun teman yang luar biasa (maksudnya pacar atau yang lebih lagi teman hidup). Sulitnya rasanya menepis anggapan ini, apalagi sering kali kita sebagai entitas dalam organisasi ini memplesetkan istilah GMKI dengan Gerakan Mencari Kawan Intim yang mungkin bagi sebagian orang merupakan bahan gurauan sesaat yang bisa menghidupkan suasana pembicaraan atau barangkali ada pesan-pesan yang mau disampaikan dalam rangka menggugat realitas yang terjadi terhadap penyelewangan dari cita-cita luhur pendiri organisasi ini.

Tidak ada yang salah menggunakan pendekatan pertemanan dalam membangun persekutuan dalam tubuh organisasi ini. Terbukti, kehadiran GMKI sampai saat ini masih tetap eksis dikarenakan pendekatan pertemanan diatas. Barangkali kalau kita mau lebih serius menggali pemahaman tentang organisasi ini. Kita akan menemukan kesadaran yang lebih tinggi sifatnya mengarahkan kita pada apa yang dinamakan militansi berorganisasi. Bahwasanya kita masih tetap berdiri di GMKI dikarenakan panggilan-Nya untuk berbuat setelah anugerah (Sola Gratia) yang diberikan-Nya kepada kita sebagai warga Kerajaan Sorga bagi yang percaya pada-Nya (Roma 10: 9, Yohanes 5: 24, 1 Yohanes 5; 13, dan Yohanes 20: 31).

Penulis jadi teringat akan suatu kalimat bijak yang digunakan “saudara kita yang diseberang” dalam menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi mereka ditengah pesatnya pemikiran pragmatisme mahasiswa dalam berburu organisasi yang mapan. Disebutkan “Jangan mencari hidup di Muhammadiyah, tetapi hidup-hidupilah Muhammadiyah” barangkali seperti itulah pesan yang dimanisfestasikan dalam susunan kalimat yang menggugah kesadaran pembacanya.

Tidak ada salahnya kalau kita belajar dari kata-kata bijak diatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar